Apakah Pencerahan itu?. Pertanyaan itu dijadikan judul esai Immanuel Kant “Was ist Aufklärung?” yang dimuat pada Jurnal Berlinische Monastschrift pada bulan September 1784. Menurut Kant:
“Pencerahan adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk mempergunakan pengertiannya sendiri tanpa bimbingan orang lain. Ketidakdewasaan ini dibuatnya sendiri bila penyebabnya bukannya pada kurangnya pikiran melainkan kurangnya ketegasan dan keberanian untuk mempergunakan pikiran itu tanpa bimbingan orang lain. Sapere Aude! Beranilah mempergunakan pikiranmu sendiri! Itulah semboyan pencerahan”.
Kant menegaskan, Pencerahan adalah “jalan keluar” yang membebaskan manusia dari situasi ketidakdewasaan, yakni, situasi manusia yang masih menggantungkan dirinya pada otoritas di luar dirinya, yang dengannya ia sendiri merasa bersalah, entah otoritas itu atas nama tradisi, dogma agama, atau pun negara. Pencerahan dapat dikatakan pula sebagai proses penyempurnaan secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan “kemajuan”.
Pencerahan, dengan demikian, harus dipahami sebagai sebuah proses, sekaligus tugas untuk mencapai Mundigkeit, kedewasaan, dengan berani menggunakan rasio sendiri. Sapere Aude (Beranilah berpikir sendiri!) menjadi semboyan kuatnya.
Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk “mengukir sejarahnya sendiri” di dunia – suatu proses self determination, di mana manusia menciptakan kriteria-kriteria dan nilai-nilai perkembangan diri mereka sendiri sebagai subjek yang merdeka. Keterputusan dari nilai-nilai dan spirit yang lama, telah memungkinkan manusia modern untuk hidup di dunia baru, dunia modern, dunia yang diandaikan tercipta seperti pada “Hari Kejadian”. Hegel menyebut dunia baru ini sebagai “zaman baru” (new age), dengan roh baru. Seperti yang dikemukakannya dalam Phenomenology of Spirit:
“Zaman kita adalah sebuah zaman kelahiran dan periode peralihan menuju satu era baru. Roh telah terputus dari dunia yang sebelumnya dihuni dan diimajinasikannya, dari pikiran yang telah menenggelamkannya di masa lalu, dan ia dalam proses transformasi. Roh tidak pernah diam di tempat, akan tetapi selalu dalam proses bergerak ke depan … ketidakstabilan dan kebosanan yang mengguncang orde yang mapan, ramalan samar-samar tentang sesuatu yang belum diketahui di depan , semuanya ini adalah pertanda dari perubahan yang tengah menghadang. (Piliang Dikutip dari Hegel, 1956: 7).
Hegel dalam hal ini, melihat periode modern sebagai satu periode, di mana manusia sebagai subjek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria dalam kehidupannya di dunia. Manusia modern tidak memerlukan landasan nilai, kebenaran, atau legitimasi selain dari dalam dan untuk dirinya sendiri, manusia modern bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Bagi Hegel, tidak ada landasan lain yang dapat menopang subjek yang merdeka selain dari “akal budi” sang subjek itu sendiri, akal budi yang mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Baginya ilmu pengetahuan yang menjadi mahkota dari apa yang disebutnya “Kebenaran Ideal”, menggantikan mitos, legenda atau wahyu.
Bagi filsuf kelahiran 1770 di Stuttgart Jerman ini, rasio merupakan dasar substansial bagi kesadaran. Titik tolak filsafat Hegel adalah keyakinan bahwa “ide yang dimengerti” dan “kenyataan” itu sama saja. Maka tidak ada perbedaan antara bidang “rasio” dan bidang “realitas”. Rasionalitas dan realitas itu sama menurut Hegel. Kata Hegel, yang dimengerti itu real, dan yang real itu dimengerti. “Berpikir” dan “ada” itu sama. Seluruh kenyataan itu satu proses dialektis. Dalam proses ini semua pertentangan dari pikiran dan kenyataan diatasi dan diangkat, atau didamaikan dalam sintesa-sintesa yang merupakan titik-titik pangkal baru untuk mencapai sintesa-sintesa dari tingkat yang lebih tinggi (Hamersma, 1990: 42)
Modernitas bagi Hegel adalah Zeitgeist, atau “semangat zaman” . Zeitgeist adalah istilah yang digunakan Hegel untuk menjelaskan pengalaman, yaitu semangat “menjadi” di dalam ruang dan waktu – pengalaman yang karakteristik modernitas. Jürgen Habermas, di dalam bukunya The Philosophical Discourse of Modernity, menjelaskan konsep Zeitgeist Hegel ini mencirikan masa kini sebagai suatu peralihan ke masa depan yang diharapkan berbeda. (Habermas,1987: 6).
Pada perkembangan selanjutnya semangat Pencerahan yang dikumandangkan oleh Kant tetap mendapatkan tempat dan menjadi sumber inspirasi para filsuf Abad XX. Termasuk didalamnya tokoh-tokoh yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt. Istilah Mazhab Frankfurt dipakai untuk menunjukkan sekelompok cendekiawan yang tergabung dalam Institut für Sozialforschung, yang didirikan di Frankfurt pada tahun 1923. Anggota Mazhab Frankfurt antara lain Max Horkheimer, Theodor W. Ardorno, Herbert Marcuse.